Opini

Tokoh “Fahri” yang Seperti Malaikat di Film “Ayat-ayat Cinta 2”

Oleh Gol A Gong

Sejak seminggu lalu (Jumat 22 Desember 2017) saya, istri dan si bungsu sudah antri beli tiket film “Ayat-ayat Cinta 2”, tapi selalu habis. Akhirnya nonton “Jumanji” versi terbaru. Semingu kemudian, Jumat 29/12, Tias berhasil  memesan tiket online lewat Go Tix – Go Jek. Saya antusias sekali ingin nonton AAC 2. Saya sangat dekat dengan Habiburrahman El Shirazy  –penulis novelnya, juga sutradaranya – Guntur Soeharjanto (di RCTI, 1996-2008).   Debut pertama Guntur sebagai Sutradara Terbaik  FTV  berjudul “Juli di bulan Juli” (naskah Monti Tiwa) di FFI 2005. Sekarang sudah 14 film layar lebar disutradarainya. Film “Assalamualaikum Beijing” (Asma Nadia, 2014) dan “99 Cahaya di Langit Eropa” (2013) termasuk sukses di deretan 100 film box office dengan 1.189.000 penonton. Wow! Saya teringat di sebuah diskusi, bahwa sebuah film itu karya sutradara, bukan lagi karya si penulis novel. Saya penasaran, bagaimana kolaborasi – triangle system – seorang penulis (Kang Abik, Ifan Ismail, Alim Sudio), sutradara (Guntur) dan produser dari MD (Manoj Punjabi).

*

foto detik.com

Oke, akhirnya saya, istri, dan si bungsu duduk nyaman di kursi E1, E2, dan E3. Saya gembira sekali bisa duduk di Cinemaxx, Mall of Serang. Sudah lama saya menunggu Serang punya bioskop, sejak Banten jadi provinsi (2000). Setiap hendak nonton film nasional, harus meluncur ke Cilegon. Itu kadang menghilangkan selera menonton saya. Kini, setelah film “Ketika Mas Gagah Pergi” (Helvy Tiana Rossa, 2016), AAC 2 adalah film nasional pertama yang saya tonton. Sebelum film diputar Tias membisiki, “Sudah satu setengah juta penonton, Pah.” Di detik.com Manoj berujar, “Ini mega proyek, melebihi biaya film ‘Surga yang Tak Dirindukan’ sebesar Rp. 16 milyar.” Wajar mahal, karena pengambilan gambarnya didominasi Edinburg, Skotlandia.

Saya mencoba mengosongkan pikiran dan perasaan selama menonton. Saya matikan HP. Saya focus nonton, tidak menggubris respon Tias selama menonton. “Nanti saja diskusinya di rumah,” bisik saya. Ya, saya  ingin jadi penonton biasa. Saya mencoba membuang jauh-jauh sebagai seorang penulis, teman Kang Abik dan Guntur. Saya mencoba menikmati filmnya dan melupakan beberapa review yang sudah saya baca di blog dan media online.

Lampu gelap. Bioskop yang sekejap sunyi, tiba-tiba dikejutkan “opening  teaser”  seorang wanita berjilbab yang berlari-lari di antara konflik  Palestina  vs Israel. Terdengar suara jeritan-tangisan, bunyi ledakan bom, dan helicopter. Saya tak bekedip. Setiap nonton film, saya selalu datang lebih awal dan tidak pernah mau melewatkan “opening teaser”.  Jika film sudah mulai, saya memilih memundurkan waktu menonton. Kenapa  harus menonton dari awal, karena itu adalah kunci cerita dari sebuah film. Ini juga upaya sutradara/penulis untuk memancing penonton meneruskan kelanjutan cerita di belakangnya.

Cinemaxx Mall of Serang

Tias berbisik, “Ini gambar syuting atau ngambil dari berita di TV?”. Saya focus ke layar, kayaknya sih ini footage dari kantor berita CNN atau Al Jazira. Tapi, ada adegan tokoh Aisha (diperankan Dewi Sandra) sedang menelepon ke Fahri (Fedi Nuril). Jawab saya, “Kayaknya kombinasi, ada footage dan syuting.” Jika betul asli, wah, hebat juga Guntur. Tapi, saat menulis ini, saya belum bisa konfirmasi ke Kang Abik dan Guntur. Jadi kalau salah tebak, maafkan, ya.

*

 

Sepanjang film diputar, saya mengikuti alur ceritanya. Beberapa kali ada flash back, sebetulnya juga tidak apa-apa kalau tidak disertakan. Saya terpesona dengan gambar-gambarnya (Yudi Datau). Saya jadi ingin ke Edinburgh, Skotlandia. Saya larut dalam cerita drama reliji ini…

Ayat Ayat Cinta 2’ menceritakan Fahri Abdullah (Fedi Nuril) sebagai dosen dan pengusaha sukses di Edinburgh, bersama asistennya Hulusi (Pandji Pragiwaksono) dan Misbah (Arie Untung), sahabat lamanya di Mesir, yang menumpang tinggal bersamanya. Aisha – istrinya, sudah  tujuh bulan lalu raib, saat jadi sukarelawan di jalur Gaza.  Fahri mencari ke Palestina, tapi teman Aisha tewas dan jalur Gaza ditutup.  Fahri menemui beragam persoalan tetangga-tetangganya. Ada nenek asal Yahudi, Catarina (Dewi Irawan) yang sedang mengalami permasalahan dengan anak tirinya. Keira McGills (Chelsea Islan) – pemain biola berbakat yang membenci dan menuduh Fahri sebagai teroris, karena   telah menyebabkan kematian ayah mereka akibat bom di London.

Tapi Fahri terus menjalankan amanah Aisha, membantu orang-orang di sekelilingnya. Nia baik Fahri ini seringkali malah membuat salah paham dan menyeret ke persoalan yang lebih rumit dan membahayakan hidupnya.

Kehidupan Fahri menjadi semakin rumit ketika hadir Hulya (Tatjana Saphira) keponakan Aisha yang sekarang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Hulya yang ceria dan dinamis, menunjukkan ketertarikannya pada Fahri. Hulya bersedia menggantikan peran Aisha dalam kehidupan Fahri.

Fahri ragu untuk membuka hatinya bagi kehadiran Hulya, itu sama saja dia mengakui bahwa Aisha sudah meninggal. Fahri masih berharap, setiap malamnya, Aisha kembali muncul dalam hidupnya. ..

*

Foto Line Today Chanel

Dan… ketika Keira mengetahui, bahwa malaikat penolongnya adalah Fahri, saya memuji sekali acting Chelsea (bermain di sitkom “Tetangga Kok Gitu” (Net TV) yang shock. Jujur, kedua mata saya bekaca-kaca. Saya jadi ingat kisah nabi Muhammad, yang selalu dihina oleh seorang Yahudi buta, tapi justru menolongnya. Begitu juga Fahri, yang selalu dicaci-maki sebagai teroris dan penyebab kematian ayahnya di “bom London”, justru yang diam-diam memberi beasiswa kursus biola Keira. Sejak ayah Keira tewas akibat bom London, kehidupan Keira (dan Jason) jadi morat-marit.

Hanya saja, ketika ada adegan Keira meminta berkali-kali sambil bersimpuh, agar Fahri menikahinya sebagai penebus dosa, itu menimbulkan reaksi negative dari penonton. Hal itu kemudian dianggap “kampanye poligami”. Padahal Fahri menolak, “Kamu berhak menikah dengan lelaki yang mencintaimu. Tidak baik menikah bersadarkan hutang budi atau balas jasa.”

Saya justru melihat, ada kampanye terselubung untuk orang tua yang sering menikahkan putrinya, karena persoalan hutang budi dan balas jasa tadi. Bagaimana menurut kamu? Tapi, kalau kamu menganggap ini tentang poligami, ya tidak apa-apa. Tafsir pada film itu tidak terbatas, selain selera juga pengetahuan kita yang berbeda. Mohon maaf  ya, kalau kita berbeda pendapat.

*

Foto Indowarta.com

Selama 102 menit saya berada di dalam bioskop. Pop corn dan segelas soft drink telah habis. Jujur, saya terhibur. Fahri kadang mendapatkan situasi komedi dari tokoh sidekick Hulusi dan Misbah. Saya juga sadar, ada beberapa ganjalan dan perdebatan terjadi di orang-orang. Memang tidak sama persis dengan novelnya.

Saya teringat  tentang kelemahan yang sering orang bicarakan di film AAC 2 ini, pertama logika cerita tokoh Fahri seperti malaikat, kedua tentang kenapa menggunakan bahasa Indonesia padahal setting lokasi di Edinburgh, Skotland. Ketiga, juga kenapa Fahri tidak mengenali Sabina sebagai Aisha – istrinya, padahal satu rumah. Kenapa begitu mudah face/off.

Saya hanya akan membahas 2 sajalah. Pertama, tentang tokoh  Fahri seperti malaikat , ganteng, kaya-raya dan semua orang ditolongnya. Drama reliji ini memiliki nilai kemanusiaan, yang patut kita tiru ; menolong orang yang sedang kesusahan, bahkan orang itu membeci kita. Saya jadi ingat pesan Emak, “Kita harus menolong orang yang sedang tertimpa musibah.” Aduuh, sorry, jadi nasehatin. Maklum, orang tua zaman old.

Kita harus melihat latar belakang penulisnya (pendekatan sosiologis). Misinya memang setelah dakwah lewat tulisan (novel) kini dakwah lewat film.  Apalagi Kang Abik dikenal sebagai dai, alumni Universitas Al Azhar, Cairo – Mesir, dan sebagai Dewan Penasehat di komunitas Forum Lingkar Pena, yang mengusung fiksi genre islami. Kang Abik memang ingin menampilkan islam yang indah dan ramah. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Anbiya ayat 107 yang bunyinya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

Kembali ke soal karakter  di film (bioskop atau TV), memang rumit. Saya 12 tahun di RCTI sebagai senior creative. Biasanya ada tokoh protagonist (baik) diperankan Fedi sebagai Fahri, Dewi Sandra (Aisha dan Sabina) , Hulya (Tatjana Saphira), Oma Catharina (Dewi Irawan) dan Brenda (Nur Fazura). Juga tokoh sidekick diperankan Panji sebagai Hulusi dan Ari Untung sebagai Misbah. Mereka berdua berhasil menghidupkan suasana dengan “konflik” dialog atau gesture tubuh.

Lalu ada tokoh antagonis (jahat) seperti Keira (Chelse Islan bermain bagus), Jason (Cole Gribble) dan Baruch (Bront Palarae). Nah, saya melihat, karakter tokoh Fahri yang dihakimi seperti malaikat, bisa muncul sempurna karena kehadiran karakter tokoh yang lainnya. Memang, kadang lho, di sinetron terutama, agar penonton “gelisah” di kursi bioskop, semua karakter para tokoh dilebih-lebihkan. Tujuannya agar penonton tetap setia menonton, tidak pindah saluran. Jika tokohnya baik harus kayak malaikat, jika jahat ya harus seperti setan. Kebiasaan ini kemudian terbawa ke layar lebar. Apalagi rumah produksinya (MD Pictures) terbiasa bikin sinetron. Tapi, level berpikir penonton kita memang belum maksimal. Jadi, ini persoalan segmented atau target yang dibidik.

Dari banyak tokoh itu, Fahri jadi “central figure”. Jadi hidup dan menonjol, bahkan menjadi pujaan penonton sekaligus yang dibenci. Memang itu yang dimaui oleh para penulis/sutradara.  Tokoh utama di film seperti “Fahri” harus kompleks alias rumit, karena dikepung banyak masalah. Hidupnya tidak boleh linear alias biasa-biasa saja, tapi dibelit persoalan-persoalan. Fahri melibatkan dirinya di sana. Ini memang altar ego penulisnya. Tidak apa-apa. Kalau mengutip Plato, “Sastra itu mimesis, tiruan dari kehidupan sehari-hari”.

Logika (film) cerita, kadang kita ingin menerapkannya di dunia nyata. Ada penonton atau review yang menolak karakter tokoh Fahri yang cenderung seperti malaikat, saya rasa kita harus terbuka menerima perbedaan itu. Juga sebaliknya, kita harus menerima yang menyukai AAC 2. “Itu tidak ada di dunia nyata!” rata-rata penonton memrotes seperti itu. Tapi, Fedi Nuril sebagai “Fahri” mengabarkan, bahwa orang seperti Fahri itu ada di dunia nyata, hanya menjauhkan diri dari publisitas. Saya juga setuju. Banyak orang di dunia nyata “seperti malaikat”, karena gemar menyedekahkan hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Ini persoalan dengan siapa kita bergaul dalam keseharian.

*

Persoalan kedua, Fahri tidak bisa mengenali Aisha – istrinya, yang jadi pembantu di rumahnya sebagai Sabina. Saya memerhatikan dari blocking para tokoh yang dirancang penulis dan sutradara, buat saya masih bisa dimaafkan. Fahri yang sangat mencintai Aisha, selalu menjaga jarak dengan perempuan. Kita hampir tidak pernah melihat ada adegan Fahri dan Sabina berduaan dan berdialog intens, kecuali ketika Hulya di UGD, di scene-scene akhir. Ini tidak berbeda dengan Superman dan Clark Kent. Ketika Fahri sadar bahwa Sabina adalah istrinya, “Maafkan saya. Saya sampai buta tidak mengenali kamu sebagai istri saya.”

Saya akui ada kelemahan. Mestinya sebagai orang terdidik dan kaya raya, Fahri bisa melacak ke kantor imigrasi, apakah ada paspor bernomor sekian dengan nama Aisha meninggalkan Israel/Palestina. Atau Aisha datang sebagai imigran gelap?

Saya jadi teringat film “You’ve Got Mail”  (1998) yang diperankan Tom Hanks dan Meg Ryan. Mereka berdua saling berkirim e-mail. Di dunia nyata Meg Ryan tidak tahu kalau yang mengirim surat itu Tom. Ketika tahu, Meg Ryan kaget sambil berbicara, “Saya memang menginginkan pria itu kamu.” Inilah sebetulnya yang dimaui para film maker. Kapan Fahri tahu Sabina itu Aisha, sementara penonton sudah tahu. Begitu juga di Superman, kapan Louis Lane tahu “S” itu Clark Kent . Lalu, kapan Meg Ryan tahu kalau Tom itu yang suka mengirim email, sementara penonton sudah tahu. Kalau diberitahu dari awal, ya, penonton jadi kesal, dong.

*

Sekarang berkarya untuk menyenangkan semua orang sulit. Kadang dari awal (konsumen) sudah under estimate. Hehehe… Apalagi sekarang sedang alergi dengan yang segala sesuatu disampaikan dengan aroma agama. Apalagi ketika issue agama dibawa-bawa ke ranah politik, terutama Islam. Padahal di film ini terasa sekali “rekonsiliasi islam dengan agama lain”. Ini tantangan buat kita semua.   Tapi review dari penonton tetap dibutuhkan.  Semakin banyak review, semakin banyak pula masukan untuk sutradara dan penulis untuk memperbaiki kualitas karya berikutnya.

Film AAC 2 memang tidak sempurna, tapi selama seminggu sudah 1,5 juta penonton, itu menunjukkan kita membutuhkan seorang “role model”. Ketika kita tidak menemukannya di dunia nyata, maka berduyun-duyunlah mencarinya ke bioskop. Dulu pernah ada tokoh “Boy” di film “Catatan Si Boy” hingga 4 sequel, yang juga seperti malaikat (pada masanya, era 90-an) dan digandrungi perempuan. Jadi Fahri bukan yang pertama.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip komentar Bundo Free – sastrawan , di status FB saya tentang AAC 2 ini, “Cucuku selama liburan nonton terus. Saat kutanya, jawabnya : “Kami akan nonton film Indonesia terus hingga mencapai kenikmatannya dan kecanduannya”. Bundo bangga mendengar itu. Banyak remaja ternyata suka kok film-film Indonesia.” (*)

*) Serang, 30 Desember 2017, di sepertiga malam

15 tanggapan untuk “Tokoh “Fahri” yang Seperti Malaikat di Film “Ayat-ayat Cinta 2”

  1. Ulasannya lengkap. Jadi tahu kelebihan dan kekurangan film ini dari segala sudut. Semua memang kembali ke selera penonton sih pada akhirnya.

    Suka

  2. reviewnya saya setuju. memang banyak yg pro maupun kontra. tp saya juga berpikir sama seperti om satu ini. apresiasi juga utk kerja keras yg telah membuat aac 2 ini. ditunggu film2 hebat indonesia di 2018!! 🙂
    “ambil yg baik, buang yg buruk” :)) menurut saya sih.

    Suka

    1. Pro kontra, itu biasa. hadapi dgn lapang dada. Asalkan bukan saling mencaci-maki. Karya kreatif itu multi tafsir. Bebas. TEntu dengan proses membaca yg kualitasnya berbeda-beda. Ini proses menuju kemajuan.

      Suka

  3. Terima kasih untuk review-nya, Pak. Saya jadi tahu sudut pandang dari berbagai sisi. Dan perasaan saya tentang kelebihan dan kekurangan film ini sudah terwakili oleh ulasan Bapak. 🙂

    Suka

  4. Sangat setuju dengan kalimat: Ini persoalan dengan siapa kita bergaul dalam keseharian.

    Memang betul adanya
    Kalau bergaul dengan orang tidak benar, dipikiran kita semua orang ya kaya gitu.

    Suka

  5. Saya setuju bahwa tidak ada karya yg sempurna dan dapat memuaskan semua kalangan. Namun bagi saya (dan teman2 saya yg banyak membaca dan menonton beragam jenis cerita), penggambaran tokoh yg terlalu sempurna adalah sebuah kelemahan dlm cerita. Kami mengenal tipikal tokoh2 yg demikian sebagai Gary Stu (Mary Sue utk perempuan). Di internet bertebaran pula tes2 untuk mengukur sebuah karakter apakah dia Mary Sue atau bukan, dan para penulis/kreator pun berlomba2 agar tokoh2 yg mereka buat lebih realistis dan tidak sampai dicap Mary Sue.

    “Sastra adalah tiruan dr kehidupan sehari2” Karena itulah kami mengutamakan tokoh2 yg manusiawi sehingga bahkan bisa menjalin perasaan kami dgn tokoh tsb, bukan tokoh serba sempurna yg beradu dgn tokoh serba jahat sebagai sekadar pemuas khayalan saja.

    Namun lagi2 itu hanya opini dr kami, kelompok penikmat seni tertentu. Semua orang tetap berhak beropini masing2.

    Saya cuma berharap kualitas film2 Indonesia semakin baik ke depannya. Terima kasih atas ulasannya yg menyejukkan. 😀

    Suka

    1. Mbak Erna, insya Allah, semoga dimudahkan. Nanti novel saya #BaladaSiRoy difilmkan. Tokohnya antitesa dari Fahri. Ada di wilayah abu-abu. Semoga dimudahkan Allah SWT, produksinya tidak ada hambatan.

      Suka

Tinggalkan komentar