Cerita Pendek

Suatu Siang di Teras Masjid

Cerpen Oleh Gol A Gong

 

“Asalamualaikum,” tiba-tiba terdengar suara berat.

Muhammad Fiqih tidak mengenal suara itu. Pinggangnya dicolek. Dia menoleh. Dia tidak menyangka ada orang lain yang sholat di teras mesjid agung selain dirinya. Seorang lelaki berambut panjang, berjenggot dan berpakaian lusuh, menyodorkan lengannya.

“Assalamualaikum,” salamnya lagi.

Fiqih berusaha menepis keragu-raguannya. Dia ingat kata guru ngajinya, bahwa dalam menilai seseorang itu jangalah dari kulitnya saja. Selalulah juga beerprasangka baik pada orang. Astaghfirullah, dengan rasa bersalah dia beristighfar dalam hatinya. Lalu dia menjabat tangan lelaki berjenggot itu sambil tersenyum,  “Waalaikumsalam.”

“Panas sekali siang ini, ya,” lelaki berjenggot itu mengipas-ngipaskan  telapak tangan kanannya.

“Panas?” Fiqih merasa heran. Hawa di teras mesjid agung kota ini sangat sejuk baginya. Angin siang yang sepoi-sepoi, membuatnya ingin rebah dan tidur barang sejenak. Awan hitam yang berarak, membuat matahari tak leluasa memancarkan sinar teriknya. Kalau saja dia tidak memikirkan sekolah dan menghancurkan impian ibunya, tas punggungnya ini akan terasa lebih nyaman jika dijadikannya bantal! Tidur siang di teras mesjid! Tapi, kenapa lelaki berjenggot ini merasakan hawa panas? Aneh! Dia mencuri-curi pandang dengan ekor matanya! Lelaki ini bibirnya sangat kering. Mungkin kehausan. Kulit wajahnya hitam. Mungkin kebanyakan terpanggang sinar matahari. Tubuhnya kurus. Mungkin kurang makan. Matanya merah. Mungkin  kurang tidur. Jenggotnya tak teratur. Mungkin tak pernah bercukur. Rambut panjangnya kusut dan kotor. Mungkin tidak pernah keramas. Kedua telapak kakinya pada pecah dan melepuh. Mungkin karena alas kakinya sudah usang, sehingga aspal jalanan yang meleleh melukai telapak kakinya.

“Saya belum pernah melihat Bapak sebelumnya.”

“Bapak?” lelaki berjenggot itu terbatuk-batuk mendengar dirinya disebut “bapak”. Dia gugup. Dia merasa ada yang salah dengan dirinya.

“Ya.”

“Saya…, saya cuma lewat saja… Cuaca siang sagnat panas. Saya lihat ada mesjid. Ya, sudah… Siang-siang… istirahat di teras mesjid… sambil sholat dzuhur….,” katanya agak gugup.

Fiqih menatap lagi dengan seksama. Dia mencoba menyelidik. Dia langsung terketuk hatinya. Dia yakin lelaki berjenggot ini kelaparan dan kehausan. Dia tarik tas punggungnya yang tergeletak di sebelah kirinya. Dia buka. Dia ambil minuman mineral ukuran 500 ml dan bungkusan kecil berisi kue-kue bikinan ibunya.

“Saya minta maaf, Pak,” Fiqih menyodorkan bekalnya.

“Kenapa?”

“Silahkan… Alakadarnya, Pak….”

Lelaki berjenggot menatap anak kecur dengan rasa tidak percaya. Matanya terbelalak. Lagi-lagi dia merasa seperti ada yang salah dengan dirinya. “Apa ini?” dia merasa tersinggung melihat minuman mineral dan kue-kue.

“Saya….., saya  minta maaf, Pak,” Fiqih merasa tidak enak.

Lelaki berjenggot itu menatapnya dengan tajam.

“Ini… ini kue bikinan ibu saya… Saya pikir… Bapak lapar dan haus….”

“Hmm!”

“Maaf, Pak… Saya nggak bermaksud menyinggung perasaan Bapak…..”

Lelaki berjenggot itu meneliti anak ingusan di depannya. Ingin sekali dia menamparnya! Tapi tiba-tiba saja dia tidak ingin melukai hati anak yang polos ini. Anak yang lugu ini. Huh! Anak yang selalu mendengar nasehat orang tua! Dia tersenyum dengan sinis.

Fiqih berdebar-debar. Bibirnya bergetar mengucapkan dzikir; meminta perlindungan kepada Allah.

“Kamu anak yang baik. Terima kasih,” dia mengambil minuman mineral dan bungkusan berisi itu.

“Silahkan, Pak….,” Fiqih menarik napas lega dan tersenyum senang.

Lelaki berjenggot itu mengangguk. Tiba-tiba tanpa sadar, “Bismillah….,” suaranya bergetar. Tutup botol minuman mineral diputarnya. Dia meminumnya seteguk dua teguk. Dan keluar lagi dari bibirnya, “Alhamdulillah…..,” masih dengan bergetar. Bahkan dadanya berdebar-debar. Ada sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya!

“Bapak dari mana?”

“Saya dari sebuah kampung di wilayah pantai selatan…”

“Bapak sedang mencari siapa?”

“Anak sulung saya,” katanya mulai mencuil kue dan memakannya. “Dia berumur sepuluh tahun.”

Fiqih kaget dan merasa iba. Seorang ayah sedang mencari anak sulungnya yang hilang. Kota propinsi ini tidaklah kecil. Ibaratnya seperti sedang mencari jarum di dalam jerami saja! “Anak Bapak kabur dari rumah?” Fiqih tidak percaya.

“Ya, dia kabur. Saya yang salah. Saya terlalu keras mendidik dia. Kadang saya memukul dia dengan kayu atau rotan, kalau tidak mau pergi mengaji di mesjid kampung. Terlebih-lebih kalau tidak mau latihan pencak silat. Atau… saya terlau menyalahkan dia atas kematian ibunya.”

“Istri Bapak sudah meninggal?”

“Ya, istri saya sudah meninggal. Dia mungkin kecapean ngurusin si sulung yang nakal. Atau mungkin dia tidak tahan hidup dengan saya yang hanya seorang nelayan miskin…..,” dia berhenti bercerita dengan sedih. Dia menunggu reaksi anak ingusan di depannya. Kepedihan sangat jelas terlukis di wajahnya. “Kamu masih mau mendengarkan cerita saya?” tanyanya ragu.

“Iya Pak.. Teruskan ceritanya, kalau itu membuat perasaan Bapak jadi enak…”

Lelaki berjenggot itu menerawang lagi. Tiba-tiba dia merasakan kedua matanya hangat. Ah! “Suatu hari, si sulung mencuri uang ibunya hanya untuk main video game. Uang hasil keringat saya sebagai nelayan selama berbulan-bulan, yang tadinya mau dibelikan kursik plastik untuk kami pajang di ruang tamu, ludes dalam sekejap. Saya sangat marah pada si sulung. Saya pukul dia dengan rotan…..”

Fiqih merasa tegang. Dia merasakan oto-otot di sekujur tubuhnya mengeras. Dia meihat lelaki berjenggot itu ketika bercerita, seolah merasakan kepedihan yang sangat dalam.

“Malamnya, si sulung demam. Saya harus membawanya ke rumah sakit. Ibunya juga sakit. Saya malah disalahkan, karena terlalu keras menghukum si sulung….. “

Fiqih bisa merasakan rasa bersalah itu.

“Istri saya ternyata tidak sembuh-sembuh penyakitnya. Bahkan, beberapa hari setelah itu…..”

“Istri Bapak meninggal?”

“Iya…”

“Innalillahi wainailaihi rajiun…,” Fiqih merasakan kepedihannya.

Dia tertunduk.

“Bapak tahu di mana anak bapak tinggal?” Fiqih mencoba membantu.

“Entahlah. Kata teman-temannya, dia tinggal di dekat pelabuhan penyeberangan. Saya sudah ke sana. Tapi, tidak ada yang pernah melihat anak saya,” ceritanya sedih.

Fiqih menghela napas dengan berat. Perkampungan di sekitar pelabuhan, yang dia tahu, sangat padat. Orang-orangnya tidak pernah tentu menetap. Datang dan pergi. Ketika masih di kelas dua, dia pernah menulis paper tentang kaum urban di kotanya. Perkampungan di sekitar pelabuhan penyeberangan yang dijadikan sebagai objek penelitiannya.

“Ke mana si sulung. Dia seperti hilang ditelan bumi.”

“Masya Allah, Pak…..”

“Saya tidak tahu, harus mencari dia ke mana lagi…..”

“Nama si sulung itu, siapa?”

“Abdullah. Tapi saya biasa memanggilnya dengan ‘Dullah’!”

“Dullah…..”

“Ya, Dullah…”

“Apa Bapak sudah mencarinya ke perempatan jalan? Di sana kan banyak pengamen anak-anak? Siapa tahu anak Bapak ada di sana?”

“Sudah, sudah ke sana. Tapi, tetap tidak ada. Saya tanyakan kepada mereka. Tidak ada satu pun yang pernah melihat anak saya. Aneh.”

“Sabar ya, Pak. Ini musibah. Bapak sedang dicoba oleh Allah….”

Lelaki berjenggot itu menatap anak bau kencur di hadapannya dengan tajam. Fiqih merasakan keanehan itu. Tiba-tiba Fiqih merasa tidak mengenalinya. Tapi, beberapa saat Fiqih melihat mimik wajahnya berubah lagi. Kembali seperti semula, penuh dengan kepedihan.

“Maafkan saya….,” dia tersenyum getir, “yang sudah lancang bercerita. Seharusnya…, saya tidak menceritakan masalah ini sama kamu. Tapi, terima kasih makanan dan minumannya, ya.. Saya capek. Saya mau istirahat dulu….,” tiba-tiba dia merasa bosan dengan percakapan ini.

Fiqih mengangguk dan maklum. “Silahkan, Pak,” dia pun mengemasi tasnya. Sajadahnya dimasukkan ke dalam tasnya.

Lelaki berjenggot itu menggeser tubuhnya. Dia merapat ke tembok. Dia merebahkan tubuhnya.

Betapa rentan tubuh kurus itu. Betapa menderitanya dia.

Fiqih merasa iba. Dia jadi ingat almarhum Bapak, yang meninggal 5 tahun yang lalu, karena terlalu capek bekerja. Bapak bekerja sebagai karyawan di pabrik motor. Siang malam, secara bergantian dengan buruh-buruh pabrik lainnya, Bapak terus bekerja. Kata Bapak, untuk mengejar target produksi dan biaya sekolahnya. Akibatnya, penyakit asma Bapak sering kambuh. Malah melebar ke mana-mana. Paru-paru basah. Kata Ibu, Allah ternyata sayang sama Bapak. Daripada Bapak menderita terus, karena didera beragam penyakit….., dipanggil-Nya Bapak saat menunaikan ibadah puasa. Kata ibu, insya Allah…., surga menjadi imbalan buat Bapak.

“Kamu tidak sekolah,” sambil memejamkan matanya, lelaki berjenggot itu mengingatkan.

“Iya, Pak. Saya pergi dulu. Assalamualaikum…”

“Waalaikum salam….”

Fiqih menuruni anak tangga mesjid agung. Wajah lelaki berjenggot yang pucat itu terus terbawa dalam benaknya. Dia menuju rak-rak sepatu. Menukar nomor dengan sepasang sepatunya. Dua logam ratusan dimasukkannya ke kotak kayu. Tapi, pikirannya masih saja melayang-layang ke cerita lelaki berjenggot, yang sedang mencari anak sulungnya!

Pengurus mesjid menyerahkan sepatu ketsnya. Dia tersenyum, “Tumben, sendirian……”

“Iya, Mas. Temen-temen lagi pada ikut kemping.”

“Kamu nggak ikut?”

“Kasihan ibu, Mas. Nggak ada temen. Lagian, di rumah sedang banyak pesanan. Biasa, pagi-pagi saya mesti anterin pesanannya.”

“Kamu emang anak baik…”

“Amien, amien…,” Fiqih tersenyum.

“Eh, hampir lupa saya! Minggu depan, ibu-ibu majlis taklim disini mau ngadain rapat. Saya disuruh ngurusin konsumsinya. Gimana? Masih bisa mesen kue sama ibu kamu?”

“Wah, buat Mas sih bisa aja!”

“Harga temen ‘kan?”

“Nanti saya bilang ke Ibu. Siapa tahu Mas bisa dapet bagian.”

“Alhamdulillah….,” pengurus mesjid itu sangat senang. “Ngomong-ngomong, siapa dia?” tanyanya menunjuk ke teras mesjid.

“Lelaki berjenggot itu?”

“Iya.”

“Musafir, Mas… Dari daerah selatan. Dia lagi nyari anak sulungnya yang kabur. Nama anaknya “Abdullah”. Tapi, belum ketemu. Kasihan dia.”

Pengurus mesjid mangut-manggut.

“Saya pergi dulu, Mas… Asalamualaikum….”

“Waalaikumsalam….”

Fiqih pergi. Dia duduk di anak tangga paling terakhir. Dia memakai sepatunya. Tapi tiba-tiba saja….., angin dari teras mesjid bertiup kencang. Aroma tubuh lelaki berjenggot itu terbawa ke hidungnya. Bau yang sangat khas; bau debu jalanan. Dia jadi serba ragu untuk pergi ke sekolah. Bapak ini butuh pertolongan. Di dompetnya ada uang 50 ribu rupiah. Kalau uang itu dia berikan padanya, mungkin bisa meringankan beban penderitaannya. Bismillah saja! Begitu karta hatinya.

Fiqih menanggalkan sepatunya lagi. Dia berjalan ke tempat penitipan sepatu dan sandal. “Mas, nitip sebentar, ya….”

“Ada yang ketinggalan?”

Fiqih tersenyum dan bergegas menaiki anak tangga. Ketika sampai di teras mesjid, lelaki berjenggot itu sedang pulas tertidur dengan posisi telungkup. Fiqih berjalan dengan hati-hati; takut membangunkannya. Dia merogoh saku belakang celana seragamnya. Diambilnya selembar limapuluhan ribu dari dompetnya. Dia bermaksud menyelipkan uangnya di saku baju lelaki berjenggot itu. Tapi tubuh kurus itu membalik dan menggeliat. Kedua matanya terpicing. Fiqih berhenti. Hatinya berdebar keras. Tiba-tiba dia sangat takut ketika melihat bola matanya yang tajam! Uang kertas bergambar Ki Hajar Dewantoro itu dia masukkanna lagi ke saku depan celana abu-abunya.

“Kamu lagi?” lelaki berjenggot menatapnya keheranan.

“Ya, ya, Pak… Saya….,” Fiqih merasa rikuh.

“Belum berangkat sekolah?” nadanya menyelidik. Kelihatannya dia tidak suka dengan kehadiran Fiqih kali ini. Dia menguap. Dia merasa tidur siangnya terganggu.

“Sebentar saja, Pak…,” Fiqih memberanikan diri mendekatinya. Dia duduk bersila di hadapannya.

Lelaki berjenggot itu bangun. Wajahnya tampak kesal. Dia juga duduk bersila. “Ada apa?” tanyanya ketus.

“Anu, Pak… Jangan tersinggung, ya….,” Fiqih ragu-ragu. Tiba-tiba dia merasa bersalah dan menyesal, karena sudah mengganggu tidur siangnya.

“Tersinggung, apa?” suaranya sangat ketus.

“Begini, Pak….”

“Ya?”

“Bapak kapan pulang?”

“Pulang?”

“Iya.. Pulang ke kampung Bapak di selatan…”

“Apa urusannya sama kamu?”

“Ya.., nggak ada, sih… Tapi…”

Lelaki berjenggot itu berpikir keras. Tiba-tiba dia seperti tersadar. Wajahnya langsung berubah. Kini di bibirnya muncul lukisan indah yang sangat menyenangkan; sebuah senyuman. “Oh.. ya, ya… Pulang, pulang…,” katanya. “Maaf, saya tadi masih belum sadar. Maklum, masih ngantuk,” dia tertawa kecut

Fiqih kini bisa tersenyum.

“Ya, ya, ya… Tadi saya cerita sama kamu soal Dullah, ya?”

“Iya, Pak….”

“Itu semua tergantung Dullah. Ketemu atau tidak. Kamu kan tahu, jangankan buat ongkos pulang… Buat makan dan minum saja, saya tidak punya uang. Untung tadi ada kamu. Alhamdulillah, rasa lapar dan dahaga ini terobati….”

Fiqih dengan pasti merogoh saku depan celananya. Uang kertas itu kini di genggaman tangan kanannya. Disodorkannya uang kertas itu. “Terimalah, Pak….,” katanya sambil menggenggam lengak kanannya.

“Apa ini?” dia tersinggung.

“Buat bekal Bapak selama mencari Dullah di sini… Nggak banyak… “

Lelaki berjenggot itu menarik tangannya. Matanya terbelalak ketika melihat uang kertas 50 ribu rupiah berada di tangannya. “Apa-apaan kamu?” katanya kurang suka. Uang kertas itu diberikannya lagi pada Fiqih. “Bukankah sebaiknya uang ini ditabungkan?”

“Pak, terima lah… Saya ikhlas, Pak…,” Fiqih menolak uangnya kembali.

“Tidak!”

“Ambilah, Pak…..”

“Ini pasti uang SPP kamu!”

“Berilah saya kesempatan untuk berbuat baik, Pak!”

“Kamu belum mengenal siapa saya!” katanya memperingatkan.

“Saya nggak perlu mengenal Bapak. Lewat cerita Bapak tadi, saya sudah tahu kalau Bapak sedang mengalami kesulitan. Sebagai sesama saudara muslim, rasanya saya ikut berdosa jika membiarkan Bapak menderita. Kita harus saling tolong menolong, Pak! Siapa tahu, saya juga mengalam kesulitan seperti Bapak! Dan seseorang nanti akan menolong saya juga!”

Lelaki berjenggot itu menatap Fiqih dengan perasaan aneh. Keningnya berkerut. Matanya bergerak-gerak gelisah. Uang kertas itu dipandanginya dengan mimik lucu. Ditimang-timangnya. Kemudian matanya beralih pada sosok pelajar SMU yang sangat polos di depannya. “Kamu anak baik. Semoga Allah memberikan rahmat dan hidayahnya sama kamu.”

“Ayo, ambilah uang ini, Pak…..”

Lelaki berjenggot menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Saya permisi, Pak… Asalamualaikum….,” Fiqih bergegas. Dia menuruni anak tangga mesjid tanpa menoleh lagi.

Lelaki berjenggot itu menimang-nimang uang pemberian Fiqih sambil merutuk,”Anak bodoh!”

 


 

Fiqih melipat sajadahnya. Lalu disampirkan di senderan kursi belajarnya. Sarungnya juga dilipat. Diletakkan di tempat yang sama. Kemudian dia memakai celana training, yang warnanya sudah pudar. Dia mencopot pecinya. Ditumpuk di atas buku-buku pelajaran di meja belajarnya. Ketika melihat meja belajarnya, dia jadi teringat ayahnya. Meja itu bikinan mendiang ayahnya. Kayunya dari pohon nangka di halaman samping rumahnya. Suatu malam saat hujan deras, pohon nangka yang sudah tua itu roboh. Selama seminggu, setiap pagi, ayahnya menggergaji batang pohon nangka itu. Kemudian jadilah meja belajar! Ayahnya menghadiahkannya pada saat ulang tahunnya yang ke 12. Dia sangat bangga menerima hadiah itu!

“Fiqiiiih,” ibunya memanggil.

“Ya, Bu….”

“Ayo, makan malam dulu….”

“Iya, Bu,” Fiqih keluar dari kamarnya.

Ibunya sedang menyendok nasi ke piring. Fiqih duduk. Di depannya bertumpuk dus-dus kecil. Kue-kue masih berada di loyangnya. Makin hari, pesanan kue makin banyak saja. Ibunya sampai kewalahan melayani pesanan itu. Sampai-sampai ada yang ditolaknya.

“Pesanan dari siapa, Bu?”

“Yang ini… Bu RT. Buat arisan RW katanya…Yang ini Bu Wawat… ”

“Rini, kemana? Kok, nggak dateng ngebantuin Ibu?”

“Tadi.. ibunya Rini ke sini…. Rininya sakit..”

“Ya sudah… Fiqih yang bantuin..”

“Malam ini kita begadang lagi, ya…,” ibunya tersenyum.

“Siapa takut!” Fiqih juga tersenyum.

“Bagaimana khabar sekolah hari ini?”

“Biasa-biasa aja, Bu.”

“Kamu kecewa tidak ikut kemping ke pantai?”

Fiqih terdiam.

“Maafkan Ibu, ya. Hanya kamu milik Ibu satu-satunya.”

“Iya, Bu.”

“Bulan depan, kamu EBTANAS. Insya Allah… kalau lulus, Ibu akan mengijinkan kamu kuliah ke Yogyakarta. Ibu ikhlas. Tapi sekarang, Ibu ingin menikmati kebersamaan dengan kamu yang hanya tinggal beberapa bulan lagi.”

Fiqih tersenyum, “Iya, Bu… Fiqih mengerti.”

“Ayo, makan dulu,” ibunya menyodorkan makan malamnya.

Fiqih mengangguk.

“Oh ya… Kamu tidak lupa kan, beli resep masakan yang Ibu pesan?”

Fiqih tertegun. Dia tidak jadi menyuap makan malam ke mulutnya.

“Kenapa? Lupa? Tidak apa-apa. Besok lagi saja.”

“Hmm, anu, Bu….”

“Tadinya… Ibu mau praktekkan malam ini. Ibu Tias udah wanti-wanti, kalau pesanannya harus selesai lusa. Yah…, masih ada waktu sehari lagi. Besok beli buku resepnya, ya. Jangan sampai lupa lagi.”

Fiqih hanya mendengarkan. Dia mengunyah makan malamnya dengan pelan.

“Oh ya… Besok pagi… Kamu antar kue-kue ini ke rumah Bu Wawat… Anaknya , Farhan… ulang tahun….”

“Iya, Bu…”

“Kenapa kamu? Ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan?”

“Fiqih nggak beli buku resepnya, Bu…. Maafkan Fiqih…..”

“Nggak beli? Kenapa?”

“Maafkan Fiqih, Bu. Uangnya Fiqih kasihan sama orang….”

“Kasihkan ke orang, bagimana?” ibunya kaget.

“Siang tadi…, di mesjid agung…. Fiqih ketemu seorang musafir, Bu….”

Ibunya agak gugup. “Semuanya kamu kasihkan?”

“Iya, Bu…”

“Lima puluh ribu?” tenggorokannya tercekat.

Fiqih mengangguk.

“Bagaimana bisa….., kamu mempercayai seorang musafir…., padahal kamu baru ketemu satu kali?”  ibunya tidak percaya.

“Maafkan Fiqi, Bu…”

Ibunya menghela napas dengan berat. Dadanya terasa sesak. Dia menata kue-kue bikinannya ke dalam dus-dus kecil.

“Nanti uangnya Fiqih ganti, Bu…”

Ibunya menatapnya. Dia seperti melihat mendiang suaminya di wajah anaknya. Tenyata Fiqih mewarisi sifat ayahnya. Mendiang suaminya itu, kalau sudah menolong orang, kadang tidak pernah memikirkan dirinya. Dia ingat suatu malam, ada yang mengetuk pintu rumahnya. Orang itu tidak mereka kenal. Orang itu kelaparan. Orang itu hanya minta makan. Tapi suaminya memberi lebih, tidak hanya sekedar makan. Baju-baju bekas dan sedikit uang diberikan pada orang itu. Padahal uang itu rencananya akan dipakai untuk membayar listri. Apa kata suaminya? Kalau orang itu penipu, siapa tahu dia bisa belajar dari kita, bahwa berbuat baik itu tidak perlu pandang bulu. Dan soal bayar listrik, mendiang suaminya sambil tersenyum berkata santai, “Bapak akan cari pinjaman di pabrik.”

“Bu…., maafkan Fiqih, ya…”

Ibunya tersenyum. “Apa yang kamu lakukan itu… sudah betul….”

“Tapi… Bagaimana kalau orang itu bohong, Bu?”

“Kenapa kamu jadi meragukan dia?”

“Entahlah, Bu.”

“Kamu harus percaya, bahwa menolong itu adalah kewajiban semua orang. Serahkan semuanya pada Allah. Yang penting, kamu sudah melakukan sesuatu yang baik. Soal orang itu baik atau jahat, itu urusan dia dengan Allah.”

“Iya, Bu….”

 


 

 

Sementara itu di sebuah rumah di daerah lokalisasi, yang berdiri di bantaran kali kota, bau asap rokok tercium. Bahkan bau alkohol menyengat ke udara! Suara bantingan kartu domino terdengar silih berganti, bercampur dengan hardikan para petaruhnya.

“Heh!Ayo! Buka kartunya!” si Tato menuangkan lagi minuman alkohol itu ke gelas. Saking tergesa-gesa, busanya melimpah ruah dan tumpah ke meja.

“Hahah! Kiyu tujuh!” kartu domino digelar dimeja oleh si Topi Laken. Dia tertawa senang. Dia siap merengkuh uang recehan yang berserakan di meja.

“Puih! Kiyu delapan!” si Tato  membanting kartunya sambil menepiskan lengan si Topi Laken. Dengan sigap dia merengkuh uang recehan itu.

“Oy! Jangan seneng dulu!” si Plontos mencekal lengannya.

“Puih! Banyak omong kamu! Cepet buka!” si Tato melotot ke si Plontos.

“Oy! Kiyu-kiyu!” sambil berdiri, si Plontos membanting kartunya. “Sini duitnya!” kedua tangannya meraup uang recehan di meja. Dia memasukkan uang taruhan itu ke saku kemejanya. Dia menoleh. Dia menunjuk ke seorang lelaki bejenggot, yang sejak tadi duduk menyendiri di pojokan. “Oy! Dullah! Kenapa kamu!” hardiknya.

Lelaki berjenggot yang dipanggil “Dullah” itu hanya meringis. Dia sedang menimang-nimang uang kertas lima puluhan ribu.

“Puih! Dari tadi kerjaannya bengong terus! Mand, sana! Udah kayak orang gila kamu! Bau!”

“Heh! Diajak minum juga nggak mau dia!”

“Hahah! Dia lagi bertapa kali! Ninggin ilmunya! Biar kebal!”

“Puih! Akhir-akhir ini, dia malah sok suci. Nggak mau minum dia!”

“Oy! Mau tobat dia!”

“Hahah! Tobat! Dosa kamu itu segudang, Dullah! Mana bisa Tuhan ngampuni!”

Dullah memasukkan uang kertas itu. Dia bangkit. Dia menatap mereka dengan tajam. Sorot matanya tiba-tiba memancarkan kemarahan. Mereka takut jika melihat sorot mata itu! Akibatnya bisa fatal. Mereka sudah tahu reputasi lelaki kurus berjenggot ini.

Semuanya berawal sepuluh tahun yang lalu, saat itu umurnya masih dua puluh tahun. Tiba-tiba saja dia datang ke pelabuhan. Tak ada yang tahu asal-usulnya. Dia seperti dijatuhkan dari langit. Jagoan pelabuhan saat itu ditantangnya berkelahi. Hanya dalam beberapa jurus, jagoan itu terkapar dengan leher patah! Mayat jagoan itu dilemparkannya ke laut. Pihak kepolisian menduga, bahwa preman pelabuhan itu tewas terjatuh dari kapal ferry!

Sejak saat itulah Dullah jadi jagoan pelabuhan! Jika ada orang yang macam-macam kepadanya, tak ada tawar menawar lagi! Orang itu pasti diberinya oleh-oleh! Kalau tidak sayatan pisau di wajah, kaki dan tangan patah, atau kalau perlu nyawa melayang! Dia licin bagai belut! Jati dirinya hanya ada di dalam bayangan saja. Dia tak menampakkan diri. Kaki tangannyalah yang bergerak. Tempat tinggalnya dari kamar ke kamar di lokalisasi. Semua wanita penghibur sangat bersedia dan mengmpikan menjadi teman tidurnya. Pihak berwajib tak bisa mengendusnya

Sampai suatu hari, dia ditemukan terkapar di pekuburan Cina. Tak ada luka. Dia hanya kedapatan over dosis, karena kebanyakan minum pil koplo dan mension. Tak ada seorang pun yang menolongnya. Dia terbangun ketika seekor anjing hina mengendus-endus tubuhnya. Bahkan hampir saja memakannya. Mungkin anjing itu mengira dirinya bangkai. Dia terbangun. Dia mendapatkan tubuhnya terbenam di muntahannya sendiri.

Tak ada seorang pun yang tahu, apa yang terjadi selama dia tak sadarkan diri di pekuburan Cina itu. Dia merasa seperti didatangi malaikat Izroil. Dia merasa dirinya sudah mati. Dia sangat takut. Setelah itu, dia lebih banyak mengurung diri. Dia menyerahkan kekuasaannya kepada ketiga kaki tangannya. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia tidak pernah mengurus dirinya lagi. Dia biarkan janggut tumbuh liar di wajahnya. Dia biarkan tubuhnya jadi kurus. Dia biarkan penampilannya seperti seorang gembel. Dia biarkan wajahnya jadi tampak lebih tua dari umurnya.

Selama dua bulan ini, pekerjaannya hanya luntang-lantung saja. Dia seperti hilang ingatan. Dia seperti berjalan di kegelapan.. Dia seperti orang linglung. Seperti orang gila yang makin banyak menghiasi kota. Dia sudah jadi sampah masyarakat. Tak ada seorangpun yang mengenalnya….

Sampai pada peristiwa siang tadi. Entah kenapa, tiba-tiba saja kedua kakinya membawanya masuk ke halaman mesjid agung kota. Dia seolah-olah melihat setitik cahaya yang menerangi jalanannya yang gelap gulita. Dia merasakan setitik cahaya itu menuntunnya untuk masuk ke halaman mesjid. Dia merasa setitik cahaya itu sanggup menerangi jagat rayanya yang hitam pekat. Hanya dengan setitik cahaya, dia seolah-olah melihat masa kecilnya saat lebaran di kampung halamannya. Dia melihat ayah dan ibunya sedang melambaikan tangan padanya. Dia melihat dirinya sedang sungkem pada mereka.

Oh…., itu dua puluh tahun yang lalu! Oh….., kenangan yang indah itu! Semuanya hancur gara-gara para perampok jahanam! Dia menyaksikan sendiri dari kolong meja! Setelah harta orangtuanya dikuras habis, ayah-ibunya dibantai juga oleh para perampok itu! Dia jadi yatim-piatu. Uwak lelakinya yang seorang nelayan miskin merawatnya. Hidupnya sangat menderita saat itu. Uwaknya sangat keras mendidiknya dalam ilmu agama dan bela diri. Bahkan tak jarang, hadiah pukulan dari tongkat kayu atau rotan mendera tubuhnya. Ada pengalaman yang sampai sekarang tak pernah dilupakannya. Suatu hari, dia mencuri uang simpanan uwaknya. Dia habiskan uangnya untuk main video game. Uwaknya marah! Dia disiksa sampai demam dan dilarikan ke rumah sakit. Akibatnya,  uwak istri jatuh sakit. Bahkan meninggal dunia.

Setelah peristiwa itu, dia memilih kabur. Bayangan ketika ayah-ibunya meregang nyawa, menggelayut terus di matanya. Dendam itu membara di tubuhnya. Dia berkelana dari satu kota ke kota lainnya sebagai anak jalanan! Untuk hidup, dia mencuri apa saja! Kalau ada sesama anak jalanan yang macam-macam, kepalan tangannya yang berbicara! Dia tumbuh menjadi anak yang liar dan berbahaya! Kekerasan menjadi bagian dari darahnya! Dia seperti di kejar-kejar perasaan untuk membunuh siapa saja, yang membuat masalah dengannya. Dia memang mencari para perampok itu. Semua jagoan yang ditemuinya dia bantai habis! Sebelum para perampok itu ketemu, dia tak akan pernah berhenti menumpahkan darah orang di mana-mana!

Tapi, sejak kejadian hina di pekuburan Cina itu, yang ada hanya ketakutan akan mati! Omongan uwak lelakinya, tentang mana yang baik dan mana yang batil terngiang-ngiang lagi. Tentang surga dengan sungai dan bidadari cantik terbayang lagi. Tentang neraka dengan lidah yang dipanggang api, tentang pendosa yang jadi kayu bakar….., semuanya membuat hatinya jadi kerdil. Dia sering menangis sendirian di sudut kamar hotel murah.

“Heh! Mau ke mana kamu, Dullah?” “ si Tato memberanikan diri.

“Aku mau pulang ke kampung!”

“Oy! Pulang ke mana? Jangan bercanda, Dullah!”

“Aku tidak bercanda! Aku serius!”

“Hahah! Kamu tidak akan ke mana-mana! Kamu sudah jadi sampah masyarakat!”

“Aku tidak peduli!” Dullah menatap mereka lagi. Dia berbicara dengan bergetar. “Mulai sekarang, urus nasib kalian sepeninggal aku! Hati-hati, jangan sampai  kalian meminum darah kalian sendiri! Ingat! Aku suda tidak ada urusan lagi sama kalian. Jangan macam-macam sama aku! Itu kalau kalian mau selamat!”

Mereka saling pandang.

“Selamat tinggal!” Dullah betul-betul pergi.

Mereka tidak bisa mencegah kepergiannya. Malah di antara mereka sendiri mulai muncul persaingan, bahwa dirinyalah yang lebih pantas untuk menggantikan Dullah!

 


 

Suatu siang di teras mesjid.

Fiqih seperti biasa sholat dzuhur di teras mesjid agung kota. Dia baru  saja selesai berdzikir, ketika pinggangnya ada yang mencolek.

“Asalamualaikum,” tiba-tiba terdengar suara di belakangnya.

Fiqih menoleh. Dia seperti mengenal suara itu. Tapi dia melihat seorang lelaki kurus yang tidak dikenalnya. Dia memakai baju gamis dan kopiah. Wajah lelaki itu bersih tak berjenggot. Rambutnya pendek.

“Mas, siapa?”

“Lupa sama saya?”

Fiqih meneliti lelaki berumur 30-an tahun yang berdiri teresnyum di depannya. “Mas…., yang dulu….  itu, ya?”

“Iya. Seminggu yang lalu kita pernah ertemu di sini. Kaget, ya?” katanya tersenyum.

“Iya, Mas…..,” Fiqih tersenyum. “Pangling. Sekarang lebih mudaan!” Fiqih tertawa.

“Sekarang kan lain,” dia juga tertawa. “Lihat!” dia memutarkan badannya.

“Kemarin…, Mas kok kayak…….,” Fiqih tersenyum lucu.

“Hayo, kayak apa?”

“Ya itu… rambutnya panjang, jenggotnya, bajunya yang lusuh….

“Kemarin Mas lagi nyamar!”

“Mas ustadz, ya?”

Dia tertegun ketika ditanya seperti itu. Ada yang menusuki hatinya!

“Iya, Mas?”

Dia menarik napas dengan berat. “Dik…, siapa Mas itu tidak penting. Sekarang, Mas kesini…  mau mengembalikan uang adik,” katanya menggenggamkan tangannya ke tangan Fiqih. “Mas tidak pantas menerimanya.”

“Mas!” Fiqih protes ketika melihat sebuah amplop ada di telapak tangannya. “Kenapa, Mas?”

“Sudahlah, jangan dibahas. Yang penting, Mas sudah ketemu kamu. Mas mau mengucapkan terima kasih sama kamu….”

Fiqih bingung dengan amplop di tangannya.

“Permisi, anak baik,” dia mengucek-ucek rambut Fiqih. “Jangan pernah berhenti untuk menolong orang!”

Fiqih menatapnya dengan heran dan takjub.

“Sekarang Mas harus pulang ke kampung. Asalamualaikum!” lelaki itu bergegas pergi menuruni anak tangga mesjid agung.

“Tapi, Mas! Saya belum tahu nama Mas!”

Lelaki berjenggot berhenti. “Nama Mas ‘Abdullah’. Orang-orang biasa memanggil Mas dengan ‘Dullah’!”

“Dullah…,” Fiqih mengingat-ingat.

Abdullah atau Dullah menuruni anak tangga lagi.

“Mas, tunggu!”

Dia tidak menggubris panggilan bocah ingusan itu. Dia terus menyeberangi jalan. Naik ke angkutan kota. Lalu menghilang di keramaian; ditelan bunyi klakson dan umpatan para pengemudi yang kesal dengan kemacetan kota siang hari!

Fiqih tak kuasa menahan gejolak hatinya. Dia sejak tadi hanya memandangi amplop itu mulai membukanya. Masya Allah! Di dalamnya ada banyak uang kertas lima puluhan ibu! Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Dia hanya bisa menengadah ke langit; memohon jawaban pada yang di atas. Tiba-tiba, dia seperti melihat setitik cahaya di sana! Bersinar kepadanya! Ingin sekali dia meraihnya!

 


*) pustakaloka RUMAH DUNIA Serang,  13 Mei 2002.  Dimuat di majalah ANNIDA edisi Jumbo, Oktober 2002

Tinggalkan komentar